Blogger Widgets

Rabu, 27 November 2013

nasikh mansukh

Makalah
Nasikh - Mansukh
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : H. Fuad Riyadi Lc. M.ag

  http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/0/03/Logo_STAIN_Kudus_Jawa_Tengah.jpg
Di susun oleh :
1.    Ratna Ariani               (212176)
2.    Satin Misriatun           (212194)
3.    Siti Yulaikah               (212207)







 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH /EI
TAHUN 2013






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
 Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’ yang tidak terlepas dari aspek kebudayaan sosial  masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita mampu memahami apakah hukum yang tertulis dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian nasikh dan mansukh?
2.      Apa macam – macam nasikh dan mansukh?
3.      Sebutkan jenis – jenis nasikh dan mansukh ?
4.      Apa ayat – ayat yang mengalami nasikh dan mansukh?
5.      Apa hikmah dari nasikh dan mansukh?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan).  Menurut istilah , Naskh adalah mengangkat  (menghapuskan)  hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara’ yang lain. [1]
Mansukh adalah hukum yang diangkat (dihapuskan). Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansuk) sebagaimana akan dijelaskan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat – syarat berikut:
1.      Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3.      Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.[2]
B.     Macam – macam Nasikh dan Mansukh
1.      Naskh lafadz dan hukum.
Al Qadhi Abu Bakar menceritakan dalam Kitab Al –Intishar tentang suatu kaum yang mengingkari nasakh semacam ini, sebab yang berkaitan dengannya adalah khabar ahad. Padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah Al – Qur’an atau menasakh Al – Qur’an dengan khabar ahad. Khabar ahad tidak dapat dijadikan hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian (qath’i), tetapi yang ditunjukkannya hanya bersifat dugaan (zhann).
Pendapat ini dijawab, bahwa penetapan nasakh adalah satu hal, sedang penetapan sesuatu sebagian Al Qur’an adalah hal lain. Penetapan adanya nasakh cukup dengan khabar ahad yang zhanni, tetapi penetapan sesuatu sebagai bagian Al-Qur’an harus dengan dalil qath’i, yakni khabar mutawatir. [3]
2.      Naskh lafadz sedang  hukumnya tetap.
Yaitu lafadz ayat dihapus dari mushaf, tapi hukumnya tetap berlaku.  
3.      Naskh hukum sedang lafadznya tetap. 
Yaitu lafadz ayat yang dihapus(mansukh) masih tetap ada dalam mushaf, tapi hukumnya telah dihapus oleh ayat yang menghapusnya(nasikh).[4]
C.     Jenis – jenis Nasikh dan Mansukh
1.      Naskh Al- Qur’an dengan Al- Qur’an.
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang menyatakan adanya naskh.  
2.      Naskh Al- Qur’an dengan Hadits.
a.       Naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir.
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad membolehkannya.
b.      Naskh Al-Qur’an dengan hadits ahad.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan jumhur ulama tidak membolehkannya.
3.      Naskh hadits dengan Al – Qur’an
Jumhur ulama’ sepakat membolehkan.
4.      Naskh hadits dengan hadits.
a.       Naskh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir.
b.      Naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir.
c.       Naskh hadits ahad dengan hadits ahad.
d.      Naskh hadits mutawatir dengan hadits ahad.
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Al – Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur ulama’.
5.      Naskh yang berpengganti dan tidak berpengganti.
a.       Nasakh tanpa pengganti.
Contoh: “ Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu”. (QS. Al Mujadalah :12). Ketentuan ini dinasakh oleh ayat: “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya , dan Allah telah memberi taubat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat”. (Al – Mujadalah: 13)
b.      Nasakh dengan badal akhtaff.
Misalnya , firman Allah: “Dihalalkan  bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri – istri kamu...........” (QS. Al- Baqarah: 187). Ayat ini menghapus  firman Allah: “.......sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum kamu..........” (QS. Al- Baqarah:183). Karena maksud ayat QS. Al- Baqarah: 183 adalah agar puasa kita seperti ketentuan puasa orang – orang terdahulu, yaitu dilarang bercampur dengan istri apabila mereka telah mengerjakan shalat petang atau telah tidur.
c.       Nasakh dengan badal mumasil.
Misalnya penghapusan arah kiblat ke Baitul Maqdis menjadi menghadap ke Masjidil Haram. “ Maka palinglah mukamu ke arah Masjidil Haram...” (QS. Al- Baqarah :144).
d.      Nasakh dengan badal asqal.
Misalnya penghapusan hukuman penahanan rumah, dalam ayat: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datanglah empat orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka(wanita – wanita itu) dalam rumah sampai meninggal......”(QS An- Nisa’ :15). Ayat tersebut dinasakh dengan ayat tentang hukuman rajam bagi pezina muhson(sudah pernah menikah) atau dera 100 kali bagi pezina yang belum pernah menikah.




































[1] Syaikh Manna’ Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006, halm:285.
[2] Manna Khalil Al- Qaththan, Mabahis fi Ulumil Qur’an, Bogor,Pustaka Litera AntarNusa,2001, halm: 327. 
[3] Syaikh Manna’ Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006, halm:294.
[4] Suhadi M.S.I, Ulumul Qur’an, kudus, NORA MEDIA ENTERPRISE, 2011, halm: 116.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar