Makalah
Nasikh - Mansukh
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : H. Fuad Riyadi Lc. M.ag
Di susun oleh :
1.
Ratna Ariani (212176)
2.
Satin Misriatun (212194)
3.
Siti Yulaikah (212207)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH /EI
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an sebagi mu’jizat
Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam
menetapan hukum Islam. Al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam
hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’ yang tidak
terlepas dari aspek kebudayaan sosial masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau
tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem
masyarakat arab waktu itu.
Dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam
al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Al-Nasakh
Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki
kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita mampu memahami
apakah hukum yang tertulis dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau
tidak.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian nasikh dan mansukh?
2.
Apa macam – macam nasikh dan mansukh?
3.
Sebutkan jenis – jenis nasikh dan mansukh ?
4.
Apa ayat – ayat yang mengalami nasikh dan mansukh?
5.
Apa hikmah dari nasikh dan mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Naskh
menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Menurut istilah , Naskh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab)
syara’ yang lain. [1]
Mansukh
adalah hukum yang diangkat (dihapuskan). Maka ayat mawaris atau hukum yang
terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat
kepada kedua orang tua atau kerabat (mansuk) sebagaimana akan dijelaskan. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat – syarat
berikut:
1.
Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2.
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang
lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3.
Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka akan berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.[2]
B.
Macam – macam Nasikh dan Mansukh
1.
Naskh lafadz dan hukum.
Al
Qadhi Abu Bakar menceritakan dalam Kitab Al –Intishar tentang suatu kaum yang
mengingkari nasakh semacam ini, sebab yang berkaitan dengannya adalah khabar
ahad. Padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah Al – Qur’an atau
menasakh Al – Qur’an dengan khabar ahad. Khabar ahad tidak dapat dijadikan
hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian (qath’i), tetapi yang ditunjukkannya
hanya bersifat dugaan (zhann).
Pendapat
ini dijawab, bahwa penetapan nasakh adalah satu hal, sedang penetapan sesuatu
sebagian Al Qur’an adalah hal lain. Penetapan adanya nasakh cukup dengan khabar
ahad yang zhanni, tetapi penetapan sesuatu sebagai bagian Al-Qur’an harus
dengan dalil qath’i, yakni khabar mutawatir. [3]
2.
Naskh lafadz sedang hukumnya
tetap.
Yaitu lafadz
ayat dihapus dari mushaf, tapi hukumnya tetap berlaku.
3.
Naskh hukum sedang lafadznya tetap.
Yaitu lafadz
ayat yang dihapus(mansukh) masih tetap ada dalam mushaf, tapi hukumnya telah
dihapus oleh ayat yang menghapusnya(nasikh).[4]
C.
Jenis – jenis Nasikh dan Mansukh
1.
Naskh Al- Qur’an dengan Al- Qur’an.
Bagian ini
disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang
menyatakan adanya naskh.
2.
Naskh Al- Qur’an dengan Hadits.
a.
Naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir.
Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Ahmad membolehkannya.
b.
Naskh Al-Qur’an dengan hadits ahad.
Imam Syafi’i,
Imam Ahmad dan jumhur ulama tidak membolehkannya.
3.
Naskh hadits dengan Al – Qur’an
Jumhur ulama’
sepakat membolehkan.
4.
Naskh hadits dengan hadits.
a.
Naskh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir.
b.
Naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir.
c.
Naskh hadits ahad dengan hadits ahad.
d.
Naskh hadits mutawatir dengan hadits ahad.
Tiga bentuk
pertama dibolehkan, sedang pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti
halnya naskh Al – Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur
ulama’.
5.
Naskh yang berpengganti dan tidak berpengganti.
a.
Nasakh tanpa pengganti.
Contoh: “ Hai
orang – orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan
itu”. (QS. Al Mujadalah :12). Ketentuan ini dinasakh oleh ayat: “Apakah kamu
takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan
dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya , dan Allah telah memberi
taubat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat”. (Al – Mujadalah:
13)
b.
Nasakh dengan badal akhtaff.
Misalnya ,
firman Allah: “Dihalalkan bagimu pada
malam hari bulan puasa bercampur dengan istri – istri kamu...........” (QS. Al-
Baqarah: 187). Ayat ini menghapus firman
Allah: “.......sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum
kamu..........” (QS. Al- Baqarah:183). Karena maksud ayat QS. Al- Baqarah: 183
adalah agar puasa kita seperti ketentuan puasa orang – orang terdahulu, yaitu
dilarang bercampur dengan istri apabila mereka telah mengerjakan shalat petang
atau telah tidur.
c.
Nasakh dengan badal mumasil.
Misalnya
penghapusan arah kiblat ke Baitul Maqdis menjadi menghadap ke Masjidil Haram. “
Maka palinglah mukamu ke arah Masjidil Haram...” (QS. Al- Baqarah :144).
d.
Nasakh dengan badal asqal.
Misalnya
penghapusan hukuman penahanan rumah, dalam ayat: “Dan (terhadap) para wanita
yang mengerjakan perbuatan keji, datanglah empat orang saksi dari pihak kamu
(untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka
kurunglah mereka(wanita – wanita itu) dalam rumah sampai meninggal......”(QS
An- Nisa’ :15). Ayat tersebut dinasakh dengan ayat tentang hukuman rajam bagi
pezina muhson(sudah pernah menikah) atau dera 100 kali bagi pezina yang belum
pernah menikah.
[1] Syaikh Manna’ Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an,
Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006, halm:285.
[2] Manna Khalil
Al- Qaththan, Mabahis fi Ulumil Qur’an, Bogor,Pustaka Litera AntarNusa,2001,
halm: 327.
[3] Syaikh Manna’ Al- Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al- Qur’an,
Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2006, halm:294.
[4] Suhadi M.S.I, Ulumul Qur’an, kudus, NORA MEDIA ENTERPRISE, 2011, halm:
116.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar