Blogger Widgets

Rabu, 16 April 2014

makalah tasawuf

MAKALAH
MANUSIA, AGAMA DAN KEAGAMAAN
Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Tasawuf
Dosen pembimbing : H. Jaenal Arifin M.Ag




Di susun oleh :
                                          Ratna Ariani                     (212176)
                              Putri Rahayu Ningsih        (212179)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARI’AH / EKONOMI ISLAM
TAHUN 2013



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Manusia, agama dan islam adalah masalah yang sangat penting, karena ketiganya mempunyai pengaruh besar dalam pembinaaan generasi yang akan datang, yang akan tetap beriman kepada Allah SWT dan tetap berpegang pada nilai-nilai spiritual sesuai dengan agama masing – masing.
Agama merupakan sarana yang menjamin individu dalam menumbuhkan ketenangan hati pada pemeluknya. Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan, kesalahan dan menjauhkannya dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan membuat hati manusia menjadi jernih halus dan suci. Di samping itu juga agama juga merupakan benteng pertahanan bagi generasi muda muslim dalam menghadapi berbagai aliran sesat.
Agama juga mempunyai peranan penting dalam pembinaan akidah dan akhlak dan juga merupakan jalan untuk membina pribadi dan masyarakat yang individu – individunya terikat oleh rasa persaudaraan , cinta kasih dan tolong menolong. Islam dengan berbagai ketentuannya dapat menjamin bagi orang yang melaksanakan hukum – hukumnya akan mencapai tujuan yang tinggi.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja unsur – unsur yang ada dalam diri manusia?
2.      Bagaiamana hubungan manusia dengan agama ?
3.      Mengapa tasawuf itu diperlukan?





BAB II
PEMBAHASAN
A.                MANUSIA
Manusia tersusun dari dua macam unsur:
اِنَمَا وَسِعَكَ الْكَوْنُ مِنْ حَيْثُ جِسْمَا نِيَتِكَ وَلَمْ يَسَعْكَ مِنْ حَيْثُ ثُبُوْتِ رُوْحَا نِيَتِكَ

Sesungguhnya alam dapat mencukupi kamu dari segi jasmanimu dan dia tidak mencukupimu dari segi ketetapan ruhanimu.”
Manusia di tinjau dari sudut biologis, manusia tersusun dari dua macam unsur yaitu:
a.       Tubuh kasar (jasmani)
Dengan tubuhnya (jasmani) manusia itu dapat bergerak dan melaksanakan segala sesuatu.
b.      Ruh halus ( ruhani)
Dengan ruhnya maka manusia itu dapat menemukan, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, membenci, dll.
Ruh adalah zat yang memiliki sifat yang tersendiri dan berbeda dengan benda – benda lain. Ia adalah jisim nuraniyah (sebangsa NUR atau CAHAYA). Ruh itu berdiam didalam tubuh dan  dengan adanya roh itu lalu tampaklah gerak kehidupan dari tubuh dan dapat diketahui pula apa yang diakibatkan oleh adanya kehidupan itu. Contohnya : tubuh yang  hidup itu dapat memahamkan, mengerti, mengingat, berfikir, berpengetahuan, berkehendak, memilih, dll. Selain itu RUH itu juga sewaktu-waktu berpisah dengan tubuh yang merupakan tempatnya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh RUH tersebut menjadi benda yang mati, beku dan tidak ada gerakannya sama sekali. [1]
Menurut SOCRATES, RUH atau Jiwa Manusia adalah satu substansi (Jauhar- sesuatu yang ada sendiri), bukan satu eccidentia (aradl- sesuatu yang adanya tergantung pada substantia, seperti warna, panjang pendek, dll). Ruh itu tidak dapat dilihat karena bukan merupakan benda atau sesuatu yang berdiri atas benda seperti warna. Karena bukan benda, maka ruh tidak tersusun dari beberapa unsur. Karenanya ruh adalah simple , tidak berubah dan tidak dapat menjadi rusak. Setiap benda selalu berubah dan dapat menjadi rusak, karena dia terdiri dari berbagai unsur. Maka dari itu ruh kekal selamanya. [2]

.  Kedudukan Manusia dalam Perspektif  Tasawuf
a.       Manusia Sebagai Abid (Hamba)
Tasawuf memandang manusia sebagai karya cipta Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diciptakan  dengan  kelengkapan  jasad, ruh dan akal.
Modal potensial ini yang menjadikan manusia sebagai sebaik-baiknya ciptaan sebagaimana diserukan dalam firman Allah:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْأِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk (kualitas) yang paling sempurna (Qs. At Tin: 4)”.
Hidup dan mati manusia semata-mata hanya untuk Allah. Diibaratkan Allah dengan manusia adalah seperti tuan dan budaknya, secara fiqhiyyah seorang budak harus mematuhi perintah tuannya dan menjauhi larangan-larangannya, Al-Qur’an menyebutkan surat Adz-dzaariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“ Dan tidaklah aku ciptakan manusia semata kecuali  untuk beribadah kepada-Ku ”.
Peran manusia sebagai abid berarti segala aspek kehidupan seorang hamba Allah haruslah dilandaskan dalam rangka persembahannya kepada Allah untuk mencapai keridhaan-Nya. Selain itu, manusia bertugas sebagai Abdullah yang dapat dikaitkan dengan proses pembuatan manusia yang terdiri atas dua substansi, yaitu  jasad dan roh. Jasad manusia berasal dari alam materi
( saripati yang berasal dari tanah), sehingga eksistensinya harus tunduk dan taat pada sunnatullah. Sedangkan rohnya seakan  berada dialam arwah, sudah mengambil kesaksian dihadapan Tuhannya, bahwa manusia bersyahadat kepada Allah dan bersedia patuh pada perintah Allah SWT.
Sebagaimana sudah diterangkan dalam QS. Al- A’raf :172.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ 

Seorang hamba harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri  dengan cara menjaga kualitas iman dan meningkatkannya karena disebutkan dalam Hadits bahwa keimanan seseorang naik-turun (fluktuatif) kadang bertambah atau malah berkurang.
Allah menciptakan manusia sebagai abid (hamba)  di mana ia harus ma’rifatullah (dan rosul, malaikat, kitab, alam gaib) dengan rububiyyah dan ma’rifatunnafsi dengan ubudiyyah. [4] Imam Al Qusyairy dalam risalahnya menyebutkan bahwa kewajiban pertama manusia adalah “ma’rifatullah”, sebagaimana yang terkandung dalam seruan surat Adz Dzariyyat: 56, bahwa penciptaan jin dan manusia tidak kecuali untuk beribadah. Sebagaimana halnya Imam Al Junaid sependapat bahwa tugas pertama seorang hamba adalah selayak ciptaan mengetahui (ma’rifat) pada yang menciptakannya.
Imam Qusyairy menjelaskan: [5]
سئل رُويم عن أول فرض افترضه الله عزَّ وجلَّ على خلقه ما هو؟ فقال: المعرفة؛ لقوله جلَّ ذكره: " وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون " . قال ابن عباس: إلا ليعرفون. وقال الجنيد: إن أول ما يحتاج إليه العبد من الحكمة: معرفة المصنوع صانعه، و المحدث كيف كان إحداثه، فيعرف صفة الخالق من المخلوق، و صفة القديم من المحدث، ويذل لدعوته، ويعترف بوجوب طاعته؛ فإن من لم يعرف مالكه لم يعترف بالملك لمن استوجبه.
b.      Peran manusia sebagai khalifah
Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dibanding dengan makhluk yang lain.  Karena Allah mempunyai rahasia dibalik penciptaan manusia sebagai khalifah mewakili Allah  untuk mengatur segala urusan dimuka bumi ini. Allah berfirman:
إِنّي جَاعِلٌ فِى الأرض خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدماء وَنَحْنُ نُسَبّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدّسُ لَكَ قَالَ إِنّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ } [ البقرة : 30 ]
“Sesungguhnya Aku (Allah) telah menciptakan khalifah di bumi, kemudian para malaikat berkata: “akankah Engkau ciptakan di bumi makhluk (manusia) yang akan berbuat kerusakan dan mengalirkan darah? Sementara kami bertasbih kepadaMu dan menyucikanMu. Allah berfirman: “sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang tidak kalian ketahui” (Qs. Al Baqarah: 30).
Berangkat dari ayat ini, sebagaimana diungkap oleh imam Al Khozin khalifah di bumi adalah wakil Allah yang menegakkan hokum Allah dan melaksanakan ketetapan Allah. Kata Imam Al Khozin: [6]
والصحيح إنه إنما سمي خليفة لأنه خليفة الله في أرضه لإقامة حدوده وتنفيذ قضاياه
Kedudukan manusia sebagai khalifah begitu prestisius, sehingga sampai malaikat, jin, dan iblis pun cemburu dan menanyakan perihal tersebut.” Apakah engkau akan mengangkat manusia sebagai  khalifah seorang berbuat kerusakan disana dan menumpahkan darah? Dengan kekuasaan Allah  menjawab “ Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”  dan dalam penafsiran Hasan Basri dalam Tafsir Al Hasan Al-Basri bahwa Allah meyakinkan pada semuanya bahwa makhluk yang  bernama manusia tidak dapat dianggap remeh karena hal ini diperlihatkan akan adanya potensi-potensi Ketuhanan yang ada dalam diri manusia yang mampu mengantarkan pada derajat yang paling tinggi. Allah tidak menjadikan kita sebagai robot yang hanya dikendalikan dengan remot dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali yang diperintahkan. Allah memberikan wewenang kepada manusia dimuka bumi, karena kekuatan manusia melebihi kekuatan dari semua makhluk yang pernah diciptakan Allah sebelumnya. [7]
Kedudukan manusia sebagai khalifah, membedakan posisisnya dengan mahluk lain. Manusia dibekali akal dan nafsu. Tujuan diciptakan manusia adalah menjelaskan ilmu, hikmah, taat, sehingga kendati manusia memiliki nafsu yang mendorong pada perbuatan fasad dan pertumpahan darah, namun manusia memiliki akal yang menjadi modal untuk menjadi makrifat, cinta dan patuh kepada Allah. Dikukuhkan oleh pendapat imam Al Khozin, bahwa potensi ilahiah dalam diri manusia yang dibekali akal, nafsu dan hati adalah modal yang membedakan, bahkan memosisikan lebih tinggi kedudukan manusia dibanding lainnya.
Masih menurut Imam Al Khozin, manusia memiliki kecenderungan untuk menuruti nafsunya, sehingga berpotensi menimbulkan fasad dan pertumpahan darah. Namun, potensi akal dan hati dalam diri manusia menjadi modal untuk membangun diri sehingga menjadi sebaik-baik ciptaan, yang mampu menapaki tangga akhlak dan menebar rahmat di bumi.
Inilah yang menurut Al Khozin, rahasia di balik Firman Allah “sesungguhnya Aku Maha Mengetahui yang tidak kalian (malaikat) ketahui”. Bahwa manusia kendati ia memiliki nafsu, namun ia juga memiliki akal dan hati yang membimbing manusia untuk tidak berbuat fasad dan pertumpahan darah sebagaimana digambarkan dalam surat Al Baqarah ayat 30 tersebut.[8]
Allah memberikan kepercayaan pada kita dengan dikaruniai  akal dan sebagian Asma’ Allah ( sifat-sifat Allah) dalam diri manusia, maka manusia bisa berfikir, memilih apa yang ingin dikehendaki. Tetapi tidak cukup sampai disitu, kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang diperbuat selama dibumi. Meskipun begitu Allah menegaskan bahwa kualitas manusia masih harus diasah karena belum sepenuhnya sempurna, sehingga masih perlu untuk berjuang untuk menyempurnakan akhlaknya.
Dengan begitu tugas manusia sebagai khalifah dibumi adalah dengan taqarrub kepada Allah, dengan meniru (mentransformasi) sifat Allah dalam bergaul dengan alam semesta. Taqorrub  kepada Allah adalah dengan munasabah, pun mentransformasi sifat rububiyyah sehingga kita menjadi dekat, bukan dalam hal tempat, melainkan dekat secara sifat. Meniru sifat Allah, di antaranya mengetahui (ma’rifat), kasih sayang, kebaikan, kasih sayang kepada makhluk. Allah memiliki sifat Ar-rohim ( pengasih) sudah sepantasnya  manusia melakukan ibadah shodaqoh misalnya, atau berbuat adil dimuka bumi. Dengan begitu seorang akan merasa dirinya dekat dengan Allah. Secara tidak langsung manusia melakukan perbuatan akhlak horizontal dengan sesame makhluk untuk pencapaian kesuksesan menjadi seorang Abdullah ( hamba Allah) [9]
C.                 AGAMA dan KEBERAGAMAAN
Berdasarkan sudut pandang bangsa Indonesia, agama berasal dari kata Sansakerta  yang artinya : suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.
Menurut inti maknanya yang khusus,
 kata agama dapat disamakan dengan  kata religion dalam bahasa Inggris, dan religi dari kata Belanda. Sedang dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-Milah. Al-din berarti agama yang  sifatnya umum, artinya tidak ditunjukkan kepada salah satu agama. Ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada didunia ini.[10]
Di lihat dari sisi eksoteris agama – agama yang ada sekarang saling berbeda. Masing – masing agama memiliki ajaran yang berbeda tentang ibadah dan ajaran kemasyarakatan. Sedang dalam dimensi esoteris agama itu memiliki kesamaan. Karena dimensi esoteris yang dalam islam disebut tasawuf mengajarkan perbuatan hati, seperti sabar, ikhlas, sederhana, jujur, adil, dan semacamnya. Perbuatan hati ini bersifat universal melintasi batas – batas agama. Agama apapun pada dasarnya mengajarkan kesabaran, keikhlasan, kejujuran, keadilan, toleransi, solidaritas dan semacamnya, sehingga tidak terasa adanya perbedaan antara satu agama dengan agama yang lain.
Orang yang tidak beragama juga bisa bersikap sabar, ikhlas, jujur dan sikap sufistik lainnya, sehingga dapat menjembatani antara orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Hanya saja bagi orang yang beragama sikap – sikap sufistik tadi mempunyai dasar dalam ajaran agama yang dianutnya. Karena itu, orang yang beragama seharusnya lebih sabar, lebih jujur , lebih adil , dan sebagainya dari pada orang yang tidak beragama.[11]
Namun kenyataannya orang yang beragama tidak selalu lebih sabar , jujur ,  dan adil dari pada orang yang tidak beragama. Ini mungkin karena orang yang beragama lebih mengutamakan dimensi eksoteris dari pada dimensi esoteris agamanya. Akibatnya, orang yang lebih sering merasakan perbedaan dari pada persamaan antara satu agama dengan agama lain. Malah perbedaan agama mendorong orang – orang yang berbeda agamanya itu untuk saling menghambat, menjatuhkan dan menghancurkan satu sama lain.
Hal itu terlihat pada konflik – konflik sosial yang bernuansa agama di berbagai daerah, seperti Maluku, Poso Sulawesi Tengah, dan lain – lain. Walaupun kemudian konflik terbuka di antara kelompok – kelompok agama itu mulai reda, tetapi sikap saling curiga satu sama lain belum segera hilang.
Itulah sebabnya orang perlu bertasawuf supaya tidak berpuas diri dengan dimensi eksoteris ibadah saja. Dimensi eksoteris ibadah saja tidak cukup untuk mewujudkan islam yang kaffah (paripurna). Islam yang kaffah diwujudkan dengan menghayati dimensi esoteris ibadah dan pengalaman praktik tasawuf pada umumnya.  
Praktik tasawuf menyentuh hati nurani manusia agar manusia tidak mempersoalkan perbedaan agama yang dianutnya dan mencari sisi – sisi yang paling dalam dari ajaran agamanya. Dengan demikian, tasawuf dapat merukunkan orang – orang yang berbeda agama atau aliran dalam agama.
Agama dapat menjadi faktor integrasi dan disintegrasi kalau suatu kelompok masyarakat menganut agama yang sama. Tetapi kalau dalam suatu masyarakat terdapat lebih dari satu agama, maka agama dapat menjadi faktor disintegrasi. Karena masyarakat itu terbelah menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah agama yang dianut. Sedang tasawuf selalu menjadi faktor integrasi. Sebab tasawuf menyentuh hati nurani manusia tanpa melihat perbedaan antara tasawuf dengan agama. [12]
D.                Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam semesta.  Allah sendiri yang menciptakan dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.[13]
Kenyataannya pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaharuan di Eropa yang dikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan Mahkamah Inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Sejarah umat manusia di barat (Eropa) menunjukkan bahwa dengan mengesampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena:
(1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan
 (2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.[14]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Manusia tersusun dari dua macam unsur yakni tubuh kasar (jasmani) dan ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat bergerak dan merasakan segala sesuatu. Sedangkan dengan ruh, manusia itu dapat menemukan, mengingat berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, membenci, dll.
Kedudukan manusia dalam perspektif tasawuf  dibagi menjadi 2 yaitu:
1.      Manusia Sebagai Abid (Hamba) adalah Tasawuf memandang manusia sebagai karya cipta Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diciptakan  dengan  kelengkapan  jasad, ruh dan akal.
2.      Peran manusia sebagai khalifah adalah Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dibanding dengan makhluk yang lain.  Karena Allah mempunyai rahasia dibalik penciptaan manusia sebagai khalifah mewakili Allah  untuk mengatur segala urusan dimuka bumi ini.
Agama dalam bahasa arab  dikenal dengan kata  Al-din berarti agama yang  sifatnya umum, artinya tidak ditunjukkan kepada salah satu agama.
Agama dapat menjadi faktor integrasi dan disintegrasi kalau suatu kelompok masyarakat menganut agama yang sama. Tetapi kalau dalam suatu masyarakat terdapat lebih dari satu agama, maka agama dapat menjadi faktor disintegrasi.
Itulah sebabnya orang perlu bertasawuf supaya tidak berpuas diri dengan dimensi eksoteris ibadah saja. Dimensi eksoteris ibadah saja tidak cukup untuk mewujudkan islam yang kaffah (paripurna). Islam yang kaffah diwujudkan dengan menghayati dimensi esoteris ibadah dan pengalaman praktik tasawuf pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
AL Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 4 Hlm 19.
Al Khozin, tafsir Al Khozin, Juz 1, hlm 25.
AL QUsyairy, al RIsalah AL Qusyairiyah, juz 1, Hlm 2

An- Naisaburry , Al Qusyairy. 1996. Risalatul Qusyairiyah. Surabaya: Risalah Gusti
Imam Taufik Mu’thi, Paradigma tafsir Sufi Imam Hasan al Bashri , Lintang Rasi Aksara Books,  Krapyak Wetan, 2012 ,  Hlm 106-111.
MZ, Labib & Ahnan , Maftuh. Hakekat Ma’rifat. CV. Bintang Pelajar
Tebba , Sudirman. 2003. Tasawuf Positif. Bogor: KENCANA




[1]Labib MZ, Maftuh Ahnan. Hakikat Ma’rifat. CV Bintang Pelajar. Hal 979-983
[2] Ibid. Hal 998-1001

[4] AL Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 4 Hlm 19. Menurut Al Ghazali, kedudukan manusia sebagai hamba memiliki peran sebagai abid, di mana ia harus ma’rifatullah (dan rosul, mlaikat, kitab, alam gaib) dengan rububiyyah dan ma’rifatunnafsi dengan ubudiyyah.
[5] AL QUsyairy, al RIsalah AL Qusyairiyah, juz 1, Hlm 2
[6] Al Khozin, tafsir Al Khozin, Juz 1, hlm 25.
[7] Imam Taufik Mu’thi, Paradigma tafsir Sufi Imam Hasan al Bashri , Lintang Rasi Aksara Books,  Krapyak Wetan, 2012 ,  Hlm 106-111.

[8] Baca, Tafsir Al Khozin,  Juz 13,  Hlm 30
[9] Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz 3,  hlm 106.


[10] http://tarmujimuji.wordpress.com/2012/01/10/masyarakat-agama/
[11] Sudirman Tebba. Tasawuf positif.kencana. Bogor.2003. hal 120-121
[12] Ibid hal 122-126
[13] http://www.angelfire.com/id/akademika/msmanagama99.html

[14] http://www.angelfire.com/id/akademika/msmanagama99.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar