MAKALAH
MANUSIA, AGAMA DAN KEAGAMAAN
Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Tasawuf
Dosen pembimbing : H. Jaenal Arifin M.Ag
Di susun oleh :
Ratna Ariani
(212176)
Putri Rahayu
Ningsih (212179)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARI’AH / EKONOMI ISLAM
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia, agama dan islam adalah masalah yang sangat
penting, karena ketiganya mempunyai pengaruh besar dalam pembinaaan generasi
yang akan datang, yang akan tetap beriman kepada Allah SWT dan tetap berpegang
pada nilai-nilai spiritual sesuai dengan agama masing – masing.
Agama merupakan sarana yang menjamin individu dalam menumbuhkan ketenangan
hati pada pemeluknya. Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan,
kesalahan dan menjauhkannya dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan
membuat hati manusia menjadi jernih halus dan suci. Di samping itu juga agama
juga merupakan benteng pertahanan bagi generasi muda muslim dalam menghadapi
berbagai aliran sesat.
Agama juga mempunyai peranan penting dalam pembinaan akidah dan akhlak dan
juga merupakan jalan untuk membina pribadi dan masyarakat yang individu –
individunya terikat oleh rasa persaudaraan , cinta kasih dan tolong menolong.
Islam dengan berbagai ketentuannya dapat menjamin bagi orang yang melaksanakan
hukum – hukumnya akan mencapai tujuan yang tinggi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja unsur – unsur yang ada dalam diri manusia?
2. Bagaiamana hubungan manusia dengan agama ?
3. Mengapa tasawuf itu diperlukan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MANUSIA
Manusia tersusun dari dua macam unsur:
اِنَمَا وَسِعَكَ الْكَوْنُ مِنْ حَيْثُ جِسْمَا نِيَتِكَ
وَلَمْ يَسَعْكَ مِنْ حَيْثُ ثُبُوْتِ رُوْحَا نِيَتِكَ
“Sesungguhnya alam dapat mencukupi kamu dari segi jasmanimu dan dia tidak mencukupimu dari segi ketetapan ruhanimu.”
Manusia di tinjau dari sudut biologis, manusia
tersusun dari dua macam unsur yaitu:
a. Tubuh kasar (jasmani)
Dengan tubuhnya (jasmani) manusia itu dapat
bergerak dan melaksanakan segala sesuatu.
b. Ruh halus ( ruhani)
Dengan ruhnya maka manusia itu dapat
menemukan, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai,
membenci, dll.
Ruh adalah zat yang memiliki sifat yang
tersendiri dan berbeda dengan benda – benda lain. Ia adalah jisim nuraniyah
(sebangsa NUR atau CAHAYA). Ruh itu berdiam didalam tubuh dan dengan adanya roh itu lalu tampaklah gerak
kehidupan dari tubuh dan dapat diketahui pula apa yang diakibatkan oleh adanya
kehidupan itu. Contohnya : tubuh yang
hidup itu dapat memahamkan, mengerti, mengingat, berfikir, berpengetahuan,
berkehendak, memilih, dll. Selain itu RUH itu juga sewaktu-waktu berpisah
dengan tubuh yang merupakan tempatnya dan tubuh yang sudah ditinggalkan oleh
RUH tersebut menjadi benda yang mati, beku dan tidak ada gerakannya sama
sekali. [1]
Menurut SOCRATES, RUH atau Jiwa Manusia adalah
satu substansi (Jauhar- sesuatu yang ada sendiri), bukan satu eccidentia
(aradl- sesuatu yang adanya tergantung pada substantia, seperti warna, panjang
pendek, dll). Ruh itu tidak dapat dilihat karena bukan merupakan benda atau
sesuatu yang berdiri atas benda seperti warna. Karena bukan benda, maka ruh
tidak tersusun dari beberapa unsur. Karenanya ruh adalah simple , tidak berubah
dan tidak dapat menjadi rusak. Setiap benda selalu berubah dan dapat menjadi
rusak, karena dia terdiri dari berbagai unsur. Maka dari itu ruh kekal
selamanya. [2]
. Kedudukan
Manusia dalam Perspektif Tasawuf
a. Manusia
Sebagai Abid (Hamba)
Tasawuf memandang manusia sebagai
karya cipta Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia
diciptakan dengan kelengkapan jasad, ruh dan akal.
Modal potensial ini yang
menjadikan manusia sebagai sebaik-baiknya ciptaan sebagaimana diserukan dalam
firman Allah:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْأِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ
تَقْوِيمٍ
“Sungguh telah Kami ciptakan
manusia dalam bentuk (kualitas) yang paling sempurna (Qs. At Tin: 4)”.
Hidup dan mati manusia
semata-mata hanya untuk Allah. Diibaratkan Allah dengan manusia adalah seperti
tuan dan budaknya, secara fiqhiyyah seorang budak harus mematuhi perintah
tuannya dan menjauhi larangan-larangannya, Al-Qur’an menyebutkan surat Adz-dzaariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
“ Dan tidaklah aku ciptakan
manusia semata kecuali untuk beribadah
kepada-Ku ”.
Peran manusia sebagai abid
berarti segala aspek kehidupan seorang hamba Allah haruslah dilandaskan dalam
rangka persembahannya kepada Allah untuk mencapai keridhaan-Nya. Selain itu, manusia bertugas sebagai Abdullah yang dapat dikaitkan dengan proses
pembuatan manusia yang terdiri atas dua substansi, yaitu jasad dan roh. Jasad manusia berasal dari
alam materi
( saripati yang berasal dari tanah), sehingga
eksistensinya harus tunduk dan taat pada sunnatullah. Sedangkan rohnya seakan berada dialam arwah, sudah
mengambil kesaksian dihadapan Tuhannya, bahwa manusia bersyahadat kepada Allah
dan bersedia patuh pada perintah Allah SWT.
Sebagaimana
sudah diterangkan dalam QS. Al- A’raf :172.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ
ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا
كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Seorang
hamba harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dengan cara menjaga kualitas iman dan meningkatkannya
karena disebutkan dalam Hadits bahwa keimanan seseorang naik-turun (fluktuatif)
kadang bertambah atau malah berkurang.
Allah
menciptakan manusia sebagai abid (hamba)
di mana ia harus ma’rifatullah (dan rosul, malaikat, kitab, alam gaib)
dengan rububiyyah dan ma’rifatunnafsi dengan ubudiyyah. [4]
Imam Al Qusyairy dalam risalahnya menyebutkan bahwa kewajiban pertama manusia
adalah “ma’rifatullah”, sebagaimana yang terkandung dalam seruan surat
Adz Dzariyyat: 56, bahwa penciptaan jin dan manusia tidak kecuali untuk
beribadah. Sebagaimana halnya Imam Al Junaid sependapat bahwa tugas pertama seorang
hamba adalah selayak ciptaan mengetahui (ma’rifat) pada yang
menciptakannya.
Imam Qusyairy menjelaskan: [5]
سئل رُويم عن أول فرض افترضه الله عزَّ وجلَّ على
خلقه ما هو؟ فقال: المعرفة؛ لقوله جلَّ ذكره: " وما خلقت الجن والإنس إلا
ليعبدون " . قال ابن عباس: إلا ليعرفون. وقال الجنيد: إن أول ما يحتاج إليه العبد من الحكمة:
معرفة المصنوع صانعه، و المحدث كيف كان إحداثه، فيعرف صفة الخالق من المخلوق، و
صفة القديم من المحدث، ويذل لدعوته، ويعترف بوجوب طاعته؛ فإن من لم يعرف مالكه لم
يعترف بالملك لمن استوجبه.
b. Peran
manusia sebagai khalifah
Manusia diciptakan dalam bentuk
yang paling sempurna dibanding dengan makhluk yang lain. Karena Allah mempunyai rahasia dibalik
penciptaan manusia sebagai khalifah mewakili Allah untuk mengatur segala urusan
dimuka bumi ini. Allah berfirman:
إِنّي جَاعِلٌ فِى الأرض خَلِيفَةً قَالُواْ
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدماء وَنَحْنُ نُسَبّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدّسُ لَكَ قَالَ إِنّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ } [ البقرة
: 30 ]
“Sesungguhnya Aku (Allah) telah
menciptakan khalifah di bumi, kemudian para malaikat berkata: “akankah Engkau
ciptakan di bumi makhluk (manusia) yang akan berbuat kerusakan dan mengalirkan
darah? Sementara kami bertasbih kepadaMu dan menyucikanMu. Allah berfirman:
“sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang tidak kalian ketahui” (Qs. Al
Baqarah: 30).
Berangkat dari ayat ini,
sebagaimana diungkap oleh imam Al Khozin khalifah
di bumi adalah wakil Allah yang menegakkan hokum Allah dan melaksanakan
ketetapan Allah. Kata Imam Al
Khozin: [6]
والصحيح إنه إنما سمي خليفة لأنه خليفة الله في أرضه
لإقامة حدوده وتنفيذ قضاياه
Kedudukan manusia sebagai
khalifah begitu prestisius, sehingga sampai malaikat, jin, dan iblis pun
cemburu dan menanyakan perihal tersebut.” Apakah engkau akan mengangkat manusia
sebagai khalifah seorang berbuat kerusakan
disana dan menumpahkan darah? Dengan kekuasaan Allah menjawab “ Aku mengetahui apa yang tidak
kalian ketahui” dan dalam penafsiran
Hasan Basri dalam Tafsir Al Hasan Al-Basri bahwa
Allah meyakinkan pada semuanya bahwa makhluk yang bernama manusia tidak dapat dianggap remeh
karena hal ini diperlihatkan akan adanya potensi-potensi Ketuhanan yang ada
dalam diri manusia yang mampu mengantarkan pada derajat yang paling tinggi.
Allah tidak menjadikan kita sebagai robot yang hanya dikendalikan dengan remot
dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali yang diperintahkan. Allah memberikan
wewenang kepada manusia dimuka bumi, karena kekuatan manusia melebihi kekuatan
dari semua makhluk yang pernah diciptakan Allah sebelumnya. [7]
Kedudukan manusia sebagai
khalifah, membedakan posisisnya dengan mahluk lain. Manusia dibekali akal dan
nafsu. Tujuan diciptakan manusia adalah menjelaskan ilmu, hikmah, taat,
sehingga kendati manusia memiliki nafsu yang mendorong pada perbuatan fasad
dan pertumpahan darah, namun manusia memiliki akal yang menjadi modal untuk
menjadi makrifat, cinta dan patuh kepada Allah. Dikukuhkan oleh pendapat imam
Al Khozin, bahwa potensi ilahiah dalam diri manusia yang dibekali akal, nafsu
dan hati adalah modal yang membedakan, bahkan memosisikan lebih tinggi
kedudukan manusia dibanding lainnya.
Masih menurut Imam Al
Khozin, manusia memiliki kecenderungan untuk menuruti nafsunya, sehingga
berpotensi menimbulkan fasad dan pertumpahan darah. Namun, potensi akal
dan hati dalam diri manusia menjadi modal untuk membangun diri sehingga menjadi
sebaik-baik ciptaan, yang mampu menapaki tangga akhlak dan menebar rahmat di
bumi.
Inilah yang menurut Al Khozin,
rahasia di balik Firman Allah “sesungguhnya Aku Maha Mengetahui yang tidak
kalian (malaikat) ketahui”. Bahwa manusia kendati ia memiliki nafsu, namun
ia juga memiliki akal dan hati yang membimbing manusia untuk tidak berbuat fasad
dan pertumpahan darah sebagaimana digambarkan dalam surat Al Baqarah ayat
30 tersebut.[8]
Allah memberikan kepercayaan pada
kita dengan dikaruniai akal dan sebagian
Asma’ Allah ( sifat-sifat Allah) dalam diri manusia, maka manusia bisa
berfikir, memilih apa yang ingin dikehendaki. Tetapi tidak cukup sampai disitu,
kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas apa yang diperbuat selama
dibumi. Meskipun begitu Allah menegaskan bahwa kualitas manusia masih harus
diasah karena belum sepenuhnya sempurna, sehingga masih perlu untuk berjuang
untuk menyempurnakan akhlaknya.
Dengan begitu tugas manusia
sebagai khalifah dibumi adalah dengan taqarrub kepada Allah, dengan meniru
(mentransformasi) sifat Allah dalam bergaul dengan alam semesta. Taqorrub kepada Allah adalah dengan munasabah, pun
mentransformasi sifat rububiyyah sehingga kita menjadi dekat, bukan dalam hal
tempat, melainkan dekat secara sifat. Meniru sifat Allah, di antaranya
mengetahui (ma’rifat), kasih sayang, kebaikan, kasih sayang kepada makhluk.
Allah memiliki sifat Ar-rohim ( pengasih) sudah sepantasnya manusia melakukan ibadah shodaqoh misalnya,
atau berbuat adil dimuka bumi. Dengan begitu seorang akan merasa dirinya dekat
dengan Allah. Secara tidak langsung manusia melakukan perbuatan akhlak
horizontal dengan sesame makhluk untuk pencapaian kesuksesan menjadi seorang
Abdullah ( hamba Allah) [9]
C.
AGAMA dan KEBERAGAMAAN
Berdasarkan sudut pandang bangsa Indonesia,
agama berasal dari kata Sansakerta yang
artinya : suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.
Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris, dan religi dari kata Belanda. Sedang dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-Milah. Al-din berarti agama yang sifatnya umum, artinya tidak ditunjukkan kepada salah satu agama. Ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada didunia ini.[10]
Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris, dan religi dari kata Belanda. Sedang dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din dan al-Milah. Al-din berarti agama yang sifatnya umum, artinya tidak ditunjukkan kepada salah satu agama. Ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada didunia ini.[10]
Di lihat dari sisi eksoteris agama – agama
yang ada sekarang saling berbeda. Masing – masing agama memiliki ajaran yang
berbeda tentang ibadah dan ajaran kemasyarakatan. Sedang dalam dimensi esoteris
agama itu memiliki kesamaan. Karena dimensi esoteris yang dalam islam disebut
tasawuf mengajarkan perbuatan hati, seperti sabar, ikhlas, sederhana, jujur,
adil, dan semacamnya. Perbuatan hati ini bersifat universal melintasi batas –
batas agama. Agama apapun pada dasarnya mengajarkan kesabaran, keikhlasan,
kejujuran, keadilan, toleransi, solidaritas dan semacamnya, sehingga tidak
terasa adanya perbedaan antara satu agama dengan agama yang lain.
Orang yang tidak beragama juga bisa bersikap
sabar, ikhlas, jujur dan sikap sufistik lainnya, sehingga dapat menjembatani
antara orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Hanya saja bagi
orang yang beragama sikap – sikap sufistik tadi mempunyai dasar dalam ajaran
agama yang dianutnya. Karena itu, orang yang beragama seharusnya lebih sabar, lebih
jujur , lebih adil , dan sebagainya dari pada orang yang tidak beragama.[11]
Namun kenyataannya orang yang beragama tidak
selalu lebih sabar , jujur , dan adil
dari pada orang yang tidak beragama. Ini mungkin karena orang yang beragama
lebih mengutamakan dimensi eksoteris dari pada dimensi esoteris agamanya.
Akibatnya, orang yang lebih sering merasakan perbedaan dari pada persamaan antara
satu agama dengan agama lain. Malah perbedaan agama mendorong orang – orang yang
berbeda agamanya itu untuk saling menghambat, menjatuhkan dan menghancurkan
satu sama lain.
Hal itu terlihat pada konflik – konflik sosial
yang bernuansa agama di berbagai daerah, seperti Maluku, Poso Sulawesi Tengah,
dan lain – lain. Walaupun kemudian konflik terbuka di antara kelompok –
kelompok agama itu mulai reda, tetapi sikap saling curiga satu sama lain belum
segera hilang.
Itulah sebabnya orang perlu bertasawuf supaya
tidak berpuas diri dengan dimensi eksoteris ibadah saja. Dimensi eksoteris ibadah
saja tidak cukup untuk mewujudkan islam yang kaffah (paripurna). Islam yang
kaffah diwujudkan dengan menghayati dimensi esoteris ibadah dan pengalaman
praktik tasawuf pada umumnya.
Praktik tasawuf menyentuh hati nurani manusia
agar manusia tidak mempersoalkan perbedaan agama yang dianutnya dan mencari
sisi – sisi yang paling dalam dari ajaran agamanya. Dengan demikian, tasawuf
dapat merukunkan orang – orang yang berbeda agama atau aliran dalam agama.
Agama dapat menjadi faktor integrasi dan
disintegrasi kalau suatu kelompok masyarakat menganut agama yang sama. Tetapi
kalau dalam suatu masyarakat terdapat lebih dari satu agama, maka agama dapat
menjadi faktor disintegrasi. Karena masyarakat itu terbelah menjadi beberapa
kelompok sesuai dengan jumlah agama yang dianut. Sedang tasawuf selalu menjadi
faktor integrasi. Sebab tasawuf menyentuh hati nurani manusia tanpa melihat
perbedaan antara tasawuf dengan agama. [12]
D.
Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada
Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah sendiri yang
menciptakan
dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga menurunkan
panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah
melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW.
Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka
dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam
kehidupan yang ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah
panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur
berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan
sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.[13]
Kenyataannya pada saat ini, kebanyakan kaum
muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para
penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa
ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara
ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut
biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan
pembaharuan di Eropa yang dikenal sebagai Renaissance dan Humanisme,
sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad
pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan Mahkamah Inkuisisi
yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Kedua,
masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat
Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar
Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu
mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan
masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat
Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari
syariat Islam.
Sejarah umat manusia di barat (Eropa) menunjukkan bahwa dengan mengesampingkan agama dan mengutamakan
ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas
pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena:
(1) Ilmuwan yang selama ini
meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang
sesungguhnya, dan
(2) harapan manusia pada otak manusia untuk
memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup
sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama
Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya
memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam
semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an,
menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama
kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia
akan sempurna dan bahagia.[14]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Manusia tersusun dari dua macam unsur yakni
tubuh kasar (jasmani) dan ruh halus. Dengan tubuhnya, maka manusia itu dapat
bergerak dan merasakan segala sesuatu. Sedangkan dengan ruh, manusia itu dapat
menemukan, mengingat berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai,
membenci, dll.
Kedudukan manusia dalam perspektif
tasawuf dibagi menjadi 2 yaitu:
1.
Manusia Sebagai Abid (Hamba) adalah Tasawuf memandang manusia sebagai karya cipta Allah
dengan segala kesempurnaannya. Manusia
diciptakan dengan kelengkapan jasad, ruh dan akal.
2.
Peran manusia sebagai khalifah adalah Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling
sempurna dibanding dengan makhluk yang lain.
Karena Allah mempunyai rahasia dibalik penciptaan manusia sebagai
khalifah mewakili Allah untuk mengatur segala urusan
dimuka bumi ini.
Agama dalam bahasa arab dikenal dengan kata Al-din berarti agama yang sifatnya umum, artinya tidak ditunjukkan
kepada salah satu agama.
Agama dapat menjadi faktor integrasi dan
disintegrasi kalau suatu kelompok masyarakat menganut agama yang sama. Tetapi
kalau dalam suatu masyarakat terdapat lebih dari satu agama, maka agama dapat
menjadi faktor disintegrasi.
Itulah sebabnya orang perlu bertasawuf supaya
tidak berpuas diri dengan dimensi eksoteris ibadah saja. Dimensi eksoteris
ibadah saja tidak cukup untuk mewujudkan islam yang kaffah (paripurna). Islam
yang kaffah diwujudkan dengan menghayati dimensi esoteris ibadah dan pengalaman
praktik tasawuf pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
AL
Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 4 Hlm 19.
Al
Khozin, tafsir Al Khozin, Juz 1, hlm
25.
AL QUsyairy, al RIsalah AL Qusyairiyah, juz 1, Hlm 2
An- Naisaburry , Al Qusyairy. 1996. Risalatul
Qusyairiyah. Surabaya: Risalah Gusti
Imam
Taufik Mu’thi, Paradigma tafsir Sufi Imam Hasan al Bashri ,
Lintang Rasi Aksara Books, Krapyak Wetan, 2012 , Hlm 106-111.
MZ, Labib & Ahnan , Maftuh. Hakekat Ma’rifat. CV.
Bintang Pelajar
Tebba , Sudirman. 2003. Tasawuf Positif. Bogor:
KENCANA
[2] Ibid. Hal 998-1001
[4]
AL Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 4 Hlm 19. Menurut Al
Ghazali, kedudukan manusia sebagai hamba memiliki peran sebagai abid, di mana
ia harus ma’rifatullah (dan rosul, mlaikat, kitab, alam gaib) dengan rububiyyah
dan ma’rifatunnafsi dengan ubudiyyah.
[7] Imam Taufik Mu’thi, Paradigma tafsir Sufi Imam Hasan al Bashri ,
Lintang Rasi Aksara Books, Krapyak Wetan, 2012 , Hlm 106-111.
[11] Sudirman Tebba. Tasawuf positif.kencana.
Bogor.2003. hal 120-121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar