MAKALAH
PEREKONOMIAN PADA MASA RASULULLAH SAW
Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen pembimbing : H. Amirus shodiq Lc. MA
Di susun oleh :
1.
Ratna Ariani (212176)
2.
Hanifah Nor Zakiyah (212 186)
3.
Satin Misriatun (212194)
4.
Lailatur Rosida (212202)
5.
Muhammad Faruk Hidayat (212210)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
SYARI’AH / EKONOMI ISLAM
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Munculnya islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah suatu peristiwa yang tiada bandingnya.
Beliau adalah utusanAllah SWT yang terakhir dan sebagai pembawa kebaikan bagi
seluruh umat manusia. Michael Hart dalam bukunya yang terbaru, menempatkan
beliau dalam daftar seratus orang yang memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam sejarah. Kata Hart, Muhammad SAW terpilih untuk menempati posisi pertama
dalam urutan seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh, karena beliau
merupakan satu–satunya manusia yang memiliki kesuksesan yang paling baik di
dalam kedua bidang : bidang agama dan bidang duniawi.
Di dalam sejarah islam, keuangan publik berkembang bersamaan dengan
pengembangan masyarakat muslim dan pembentukan negara islam oleh Rasulullah
SAW, kemudian diteruskan oleh para sahabat(khulafaur rasyidin). Kendatipun,
sebelumnya telah digariskan dalam Al- Qur’an, dalam hal santunan kepada orang
miskin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perekonomian negara pada masa Rasulullah SAW?
2. Bagiamana sistem kebijakan pada masa Rasulullah SAW ?
3. Bagaimana penawaran dan permintaan pada
masa Rasulullah SAW?
4. Dari mana keuangan dan pajak negara di dapatkan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perekonomian di Masa Rasulullah SAW.
Rasulullah saw diberi amanat untuk mengemban dakwah islam pada umur
40 tahun, akan tetapi sebelum ditunjukkan sebagai seorang rasul. Rasulullah SAW tidak mendapatkan gaji/upah sedikitpun dari
negara, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa bahan makanan. Salah satu
pemimpin kaum (Hazrat Anat) menawarkan miliknya kepada Rasulullah SAW yang
kemudian diberikan kepada Ummul Yaman, seorang ibu pengasuh.
Rasulullah SAW mendirikan majelis
syura, majelis ini terdiri dari pemimpin kaum yang sebagian dari mereka
bertanggung jawab mencatat wahyu. Pada tahun ke-6H ,
sekretaris dengan bentuk yang sederhana telah dibangun. Utusan negara telah
dikirim ke berbagai raja dan pemimpin-pemimpin. Orang-orang ini mengerjakan
tugasnya dengan sukarela dan membiayai hidupnya dari sumber independen.
Sedangkan pekerjaan sangat sederhana tidak memerlukan perhatian penuh. Bilal
bertugas mengurus keperluan
rumah tangga Rasulullah SAW dan
bertanggung jawab mengurus tamu-tamunya. Umumnya, orang-orang yang ingin
bertemu Rasulullah SAW adalah orang miskin. Mereka diberikan makanan
dan juga pakaian. Ketika Bilal tidak mempunyai uang, ia biasanya meminjam dari
orang yahudi, yang kemudian dibayar oleh Rasulullah
SAW.
Setelah mekah jatuh, jumlah delegasi yang datang bertambah banyak sehingga
tanggung jawab Bilal untuk melayani mereka bertambah. Dalam beberapa keadaan Rasulullah
SAW juga
membiayai perjalanan mereka dan memberikan hadiah-hadiah.
Pada masa Rasulullah SAW tidak
ada tentara formal. Semua muslim yang mampu boleh menjadi tentara. Mereka tidak
mendapatkan gaji yang tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian
dari rampasan perang. Rampasan tersebut meliputi senjata, kuda, unta dan
barang-barang bergerak lain yang didapatkan dalam perang.
Rasulullah SAW biasanya membagi
1/5 (khurns)
dari rampasan perang tersebut menjadi tiga bagian,
- bagian pertama untuk dirinya dan keluarganya,
- bagian kedua untuk kerabatnya .
- bagian ketiga untuk anak yatim piatu, orang yang membutuhkan dan orang yang sedang dalam perjalanan. 4/5 bagian yang lain dibagi di antara para prajurit yang ikut dalam perang (dalam kasus tertentu beberapa orang yang tidak ikut serta dalam perang juga mendapat bagian). Penunggang kuda mendapatkan dua bagian, untuk dirinya sendiri dan kudanya. Bagian untuk prajurit wanita yang hadir dalam perang untuk membantu beberapa hal tidak mendapatkan bagian dari rampasan perang.
Rasulullah SAW mengadopsi praktik yang yang lebih manusiawi
terhadap tanah pertanian yang ditaklukan sebagai fay’ atau tanah dengan
pemilikan umum. Tanah-tanah ini dibiarkan dimiliki oleh pemilik dan menanam
asal, sangat berbeda dari praktik kekaisaran Romawi dan Persia yang
memisah-misahkan tanah-tanah ini dari pemiliknya dan membagikannya buat para
elit militernya dan para prajurit. Semua tanah yang dihadiahkan kepada
rasulullah saw (iqta’) relatif lebih kecil jumlahnya dan terdiri dari
tanah-tanah yang tidak bertuan. Kebijakan ini tidak hanya membantu
mempertahankan kesinambungan kehidupan administrasi dan ekonomi tanath-tanah
yang dikuasai, melainkan juga mendorong keadilan antar generasi dan mewujudkan
egalitarian dalam islam.
Pada tahun kedua setelah hijrah shadaqoh fitrah diwajibkan shadaqoh yang
juga dikenal dengan zakat fitrah ini diwajibkan setiap bulan puasa ramadhan. Besarnya
satu sha’ kurma, gandum, tepung keju atau kismis, atau setengah sha gandum
untuk tiap muslim, budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan, muda atau
tua dan dibayar sebelum shalat id.[1]
B. Sistem Kebijakan pada masa Rasulullah SAW
1. Kebijakan Moneter Rasulullah SAW.
Perekonomian di Jazirah Arabia ketika jaman Rasulullah SAW merupakan
ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Minyak bumi belum
ditemukan dan sumber daya lainnya masih terbatas. Lalu lintas perdagangan
antara Romawi dan India yang melalui Arab dikenal dengan jalur dagang
Selatan. Sedangkan antara Romawi dan Persia disebut sebagai jalur dagang
Utara. Antara Syam dan Yaman disebut sebagai jalur dagang Utara Selatan.
Perekonomian Arab di jaman Rasulullah SAW, bukanlah ekonomi terbelakang
yang mengenal barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Pada masa itu
telah terjadi :
a. Valuta Asing dari Persia dan Romawi yang dikenal di seluruh lapisan
masyarakat Arab, bahkan menjadi alat bayar resminya adalah Dinar dan Dirham.
b. Sistem devisa bebas ditetapkan, tidak ada halangan sedikitpun untuk
mengimpor Dinar atau Dirham.
c. Transaksi tidak tunai diterima luas di kalangan pedagang.
d. Cek dan promissory note lazim digunakan.
e. Instrumen factory (anjak piutang) yang baru populer pada tahun 1980-an yang
telah dikenal dengan nama al- hiwalah, tetapi tentunya bebas dari unsur bunga.
Pada masa itu, bila penerimaan akan uang
meningkat, maka Dinar dan Dirham diimpor. Sebaliknya, bila permintaan uang
turun, barang impor nilai emas dan perak yang terkandung dalam dinar dan dirham
sama dengan nilai nominalnya. Sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis.
Kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas atau perak. Tidak
terjadi kelebihan atau permintaan akan uang, sehingga nilai uang stabil.
Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi
sekaligus stabilitas, islam tidak menggunakan instrumen bunga atau penawaran
uang baru melalui percetakan defisit anggaran. Di dalam islam, yang dilakukan
adalah mempercepat perputaran uang dan pembangunan infrastruktur sektor riil.
Faktor pendorong percepatan perputaran uang adalah disebabkan oleh kebijakan
likuiditas. Uang tidak boleh ditimbul dan tidak boleh dipinjamkan dengan bunga.
Sedangkan faktor penarikan uang adalah dianjurkan dengan jalan Qardh (pinjaman
kebajikan), sedekah dan kerja sama bisnis berbentuk syirkah atau mudharabah.
Keuntungan utama dari kerja sama bisnis adalah pelaku dan penyandang dana
bersama – sama mendapat pengalaman, informasi, metode supervisi, manajemen dan
pengetauan akan resiko suatu bisnis. Akumulasi dari informasi ini akan
menurunkan tingkat risiko investasi.[2]
2. Kebijakan fiskal Rasulullah SAW.
Beberapa hal penting ekonomi islam yang berimplikasi bagi
penetuan kebijakan fiskal adalah sebagai berikut:
a. Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi islam, pemerintahan Muslim harus
menjamin bahwa zakat dikumpulkan dari orang – orang muslim yang memiliki harta
melebihi nilai minimum dan yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan dalam
kitab suci Al- Qur’an.
b. Tingkat bunga tidak berperan dalam sistem ekonomi islam. Perubahan ini
secara alamiah tidak hanya pada kebijakan moneter saja, tetapi juga pada
kebijakan fiskal. Ketika bunga mencapai tingkat keseimbangan dalam pasar uang
tidak akan dapat dijalankan, beberapa alternatif harus ditemukan. Salah satunya
yaitu menetapkan pengambilan jumlah dari uang idle (uang yang menganggur).
c. Ketika semua pinjaman dalam islam adalah bebas – bunga, pengeluaran
pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak atau dari bagi hasil.
d. Ekonomi islam merupakan diupayakan untuk membantu atau mendukung ekonomi
masyarakat Muslim yang terbelakang dan menyebarkan pesan –pesan ajaran islam.
Jadi, pengeluaran pemerintah akan diarahkan pada kegiatan – kegiatan
peningkatan pemahaman terhadap islam dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat
Muslim yang masih berada terbelakang. Pembayar pajak dalam ekonomi islam adalah
secara jelas sebagai bagian dari upaya – upaya mengembangkan islam.
e. Negara islam merupakan negara yang sejahtera, dimana kesejahteraan memiliki
makna yang luas daripada konsep Barat.
f. Pada saat perang, islam berharap orang – orang itu memberikan tidak hanya
kehidupannya, tetapi juga pada harta bendanya untuk menjaga agama.
g. Hak perpajakan dalam negara islam tidak tak terbatas. Beberapa orang
kebanyakan mengatakan bahwa kebijakan perpajakan di luar apa yang disebut
zakat. [3]
C. Penawaran dan Permintaan Uang pada Periode Awal Islam.
Pada bagian ini akan dibahas unit moneter yang
berlaku di Roma dan Persia, yaitu uang dinar dan dirham. Selama
pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah, dinar berasal dari Roma, dan dirham
berasal dari Persia diimpor. Besarnya volume impor dinar dan dirham dan juga
barang – barang komoditas bergantung pada volume komoditas yang diekspor ke dua
negara tersebut dan ke wilayah – wilayah yang berada di bawah kekuasannya.
Biasanya, jika permintaan uang pada pasar internal meningkat maka uang lah yang
diimpor. Sebaliknya, jika permintaan uang turun, maka komoditas lah yang
diimpor. Hal yang menarik di sini adalah tidak adanya pembatasan terhadap impor
uang, karena permintaan internal dari Hijaz terhadap dinar dan dirham sangat
kecil, sehingga tidak berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan dalam
perekonomian Roma dan Persia. Meskipun demikian, selama pemerintahan Rasulullah
SAW, uang tidak dipenuhi dari keuangan negara semata melainkan dari hasil
perdagangan dengan luar negeri.
Oleh karena itu, tidak adanya pemberlakuan
tarif dan bea masuk pada barang impor, uang diimpor dalam jumlah yang cukup
untuk memenuhi permintaan internal. Di sisi lain, nilai emas dan perak pada
kepingan dinar dan dirham sama dengan nilai nominalnya. Karena itu keduanya
dapat dibuat perhiasan atau ornamen. Oleh karena itu, alasan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa pada awal periode islam, penawaran uang terhadap
pendapatan sangat elastis.
Setelah Persia ditaklukan, pencetakan uang
logam di wilayah itu terus beroperasi. Di sisi lain, kaum Muslimin secara
perlahan mulai diperkenalkan dengan teknologi pencetakan uang, sehingga pada
masa kepemimpinan Imam Ali kaum Muslimin secara resmi mencetak uang sendiri
dengan menggunakan nama pemerintah islam. Beberapa ahli sejarah menduga bahwa
percetakan uang sudah dilaksanakan sejak masa kepemimpinan Umar atau Ustman, akan tetapi bukti – bukti yang ada
memperlihatkan bahwa pembuatan uang dimulai pada masa kepemimpinan Imam Ali.
Ketika mata uang masih diimpor, kaum muslimin hanya mengontrol kualitas uang
impor. Namun setelah mencetak sendiri kaum Muslim secara langsung mengawasi
penawaran uang yang ada.
Tinggi rendahnya permintaan uang bergantung
pada frekuensi transaksi perdagangan dan jasa. Sementara itu, situasi yang
kurang kondusif, permusuhan antara kaum Quraisy dengan kaum Muslimin, dan
keterlibatan kaum Muslimin pada sedikitnya 26 gazwa (perang yang diikuti oleh
Rasulullah SAW) , dan 32 sariya(perang yang terjadi pada masa kepemimpinan
Rasulullah SAW, tetapi beliau tidak terlibat secara langsung), yang berarti
rata – rata enam kali perang dalam setiap tahunnya, menimbulkan permintaan uang
untuk berjaga – jaga terhadap kebutuhan yang tidak diduga dan tidak diketahui
sebelumnya. Sebagai akibatnya, permintaan terhadap uang selama periode ini
umumnya bersifat permintaan untuk transaksi dan jaga – jaga. Selain itu, tidak
ada seorang pun yang berhak menyimpan uangnya dengan tujuan spekulasi pada
nilai tukar. Larangan penimbunan juga dikenakan pada komoditas.[4]
D. Keuangan dan Pajak
Sumber keuangan dapat diperoleh dari sebagai berikut:
1.
Sodaqoh
fitrah atau zakat fitrah.
Zakat ini diwajibkan setiap bulan puasa
ramadhan. Besarnya satu sha’. Kurma, gandum, tepung keju atau kismis, atau
setengah sha’ gandum untuk tiap muslim
2.
Hasil
tebusan dari tawanan yang kalah perang.
Rasulullah menetapkan uang tebusannya rata-rata 4.000
dirham untuk tiap tawanan. Melalui tebusan tersebut kaum muslim menerima uang.
Pajak pada masa
Rasulullah adalah sebagai berikut:
a.
Jizyah
Adalah pajak yang dibayarkan oleh
orang nonmuslim. Pada masa
Rasulullah, besarnya Jizyah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang
mampu untuk membayarnya. Sedangkan perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta,
orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan
dari kewajiban ini. Jizyah dibayar sebagai pajak untuk perlindungan
sebagai pengganti wajib militer bagi nonmuslim.
b.
Kharaj
Adalah suatu pajak tanah yang
dipungut dari nonmuslim. Jumlah
kharaj dari tanah ini tetap yaitu setengah dari hasil produksi.
c.
Ushr
Adalah bea
impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun
dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya nilainya lebih dari 200 dirham.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rasulullah SAW biasanya membagi 1/5 (khurns) dari
rampasan perang tersebut menjadi tiga bagian: bagian pertama untuk dirinya dan
keluarganya. bagian kedua untuk kerabatnya. bagian ketiga untuk anak yatim
piatu, orang yang membutuhkan dan orang yang sedang dalam perjalanan. 4/5 bagian yang lain dibagi di antara para prajurit yang ikut dalam
perang (dalam kasus tertentu beberapa orang yang tidak ikut serta dalam perang
juga mendapat bagian). Penunggang kuda mendapatkan dua bagian, untuk dirinya
sendiri dan kudanya. Bagian untuk prajurit wanita yang hadir dalam perang untuk
membantu beberapa hal tidak mendapatkan bagian dari rampasan perang.
Besarnya volume impor dinar dan dirham dan juga barang –
barang komoditas bergantung pada volume komoditas yang diekspor ke dua negara
tersebut dan ke wilayah – wilayah yang berada di bawah kekuasannya. Biasanya,
jika permintaan uang pada pasar internal meningkat maka uang lah yang diimpor.
Sebaliknya, jika permintaan uang turun, maka komoditas lah yang diimpor. Hal
yang menarik di sini adalah tidak adanya pembatasan terhadap impor uang, karena
permintaan internal dari Hijaz terhadap dinar dan dirham sangat kecil, sehingga
tidak berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan dalam perekonomian Roma dan
Persia. Meskipun demikian, selama pemerintahan Rasulullah SAW, uang tidak
dipenuhi dari keuangan negara semata melainkan dari hasil perdagangan dengan
luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Heri, Konsep
Ekonomi Islam Suatu Pengantar, cet I, EKONISIA; Yogyakarta,2002.
Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, IIT ;Jakarta, 2002.
Muhammad ,Kebijakan
Fiskal dan Moneter dalam ekonomi islam, Salemba Empat ; Jakarta,
2002.
[1] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar,
EKONISIA, Yogyakarta,2002,cet. I,halm 105-108
[2] Drs. Muhammad, M.Ag, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam ekonomi islam,
Salemba Empat, Jakarta, 2002, halm 142-143
[3] Drs. Muhammad, M.Ag, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam ekonomi islam,
Salemba Empat, Jakarta, 2002,hal 196-197
[4] Ibid, halm 146-148
[5]Ir.Adiwarman Karim, S.E.M.A, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
IIT, Jakarta, 2002, Hlm.28-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar